Asasdan dasar Indonesia merdeka secara tertulis menurut Muhammad Yamin adalah sebagai berikut 1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Kebangsaan persatuan Indonesia 3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusya waratan/perwakilan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ibu Fatmawati bukan hanya ibunya warga Bengkulu tapi juga ibunya seluruh rakyat Indonesia. Beliau selamanya akan dikenang karena visi dan pandangan beliau yang jauh ke depan. Dan dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, saya resmikan Monumen Pahlawan Nasional Ibu Agung Fatmawati Sukarno hari ini," pungkas Presiden di akhir sambutan," tutur Presiden Jokowi saat meresmikan Monumen LoStato pada masa itu juga digunakan untuk menyebut pihak yang diperintah (dependent).Namun pada masa pemerintahan absolut raja-raja, state (negara) diartikan sebagai pemerintah (ingat ucapan terkenal Louis XIV dari Prancis: "L'Etat cest moi" - Negara adalah aku). Pada masa demokrasi, pengertian negara sebagai "the community that is governed" dapat mereduksi pengertian dari zaman Vay Tiền Nhanh. Sosok Jenderal Soedirman yang patungnya berada di ruas jalan utama Jakarta, jadi salah satu pahlawan nasional paling dikenal publik. Foto oleh BAY ISMOYO/AFPTulisan ini diterbitkan dalam rangka memperingati Hari Pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November setiap tahunnyaPemerintah secara resmi memberikan gelar pahlawan nasional kepada lima tokoh. Mereka – yang kelimanya sudah meninggal dunia – adalah HR Soeharto dari Jawa Tengah yang merupakan dokter pribadi Presiden Sukarno, KGPAA Paku Alam VIII dari Yogyakarta atas jasanya di bidang pendidikan, Raden Rubini Natawisastra dari Kalimantan Barat, Salahhudin bin Talabuddin dari Maluku Utara atas perjuangan politiknya melawan Belanda, dan Kyai Haji Ahmad Sanusi dari Jawa itu dikukuhkan melalui Keputusan Presiden Keppres tentang penganugerahan gelar pahlawan nasional. Ini menambah deretan panjang daftar nama pahlawan nasional yang dimiliki oleh Indonesia. Sejak 1959, pemerintah menyematkan gelar pahlawan nasional kepada tokoh yang dianggap berjasa’ bagi negara dan penetapan seorang tokoh menjadi pahlawan nasional terbilang cukup rumit. Tapi, faktanya berbagai daerah masih antusias mengusulkan nama-nama calon penerima gelar pahlawan kita patut mempertanyakan, apa urgensi untuk terus menambah jumlah pahlawan nasional? Jika kita terus melanjutkannya, pemberian gelar pahlawan nasional justru akan menjadi festival tahunan saja dan lambat laun akan kehilangan esensi gelar pahlawanSejak era pemerintahan Sukarno, pemberian gelar pahlawan nasional sudah menjadi salah satu upaya politik pemerintah untuk membangun citra’ yang baik di mata masyarakat. Sukarno kala itu menjadikan pengangkatan gelar pahlawan nasional sebagai momen untuk memperkuat masyarakat sosialis yang dibangun di bawah nasionalisme, agama, dan komunisme, dengan mengangkat dua tokoh kiri, yaitu Alimin dan Tan Malaka sebagai pahlawan tahun era berikutnya, Soeharto menjadikan momen yang sama sebagai peneguhan peran militer dalam sejarah Indonesia, dengan mengangkat tokoh kunci terbitnya Surat Perintah Sebelas Maret Supersemar yaitu Mayjen Basuki Rachmat sebagai pahlawan setelahnya di era reformasi hanya sekadar meneruskan tradisi tersebut. Pemerintah memberikan banyak gelar pahlawan nasional dari berbagai daerah untuk meyakinkan publik bahwa mereka telah memperhatikan pemerataan daerah’ dan telah bersikap adil, termasuk dalam hal pengakuan tokoh masa ini, pemberian gelar pahlawan menjadi semakin politis, bahkan bisa diskriminatif. Tidak semua yang berhak’ atas gelar tersebut bisa benar-benar menyandangnya. Status pahlawan saat ini cenderung hanya bisa diraih dengan dukungan privilese dan akses terhadap semua orang bisa mengusulkan calon penerima gelar pahlawan nasional. Biasanya hanya tokoh-tokoh daerah setempat yang memberikan usulan nama-nama individu yang layak mendapat gelar pahlawan nasional. Nama-nama yang terpilih di tingkat daerah kemudian mendapat rekomendasi dari gubernur untuk diserahkan ke Sekretariat Negara, sebelum Presiden menyetujui atau menolaknya. Penganugerahan gelar pahlawan itu kemudian diteken langsung oleh yang diusulkan namun tidak lolos dianggap belum memenuhi kelayakan. Padahal, persyaratan yang tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, Dan Tanda Kehormatan sebenarnya sederhana. Namun, kelayakan mereka kerap kali terganjal masalah politik, pertimbangan ideologis, dan sejauh mana tokoh tersebut dapat memberikan manfaat bagi pemerintah selama beberapa tahun berturut-turut, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengangkat tokoh dari luar Jawa sebagai pahlawan nasional. Ini kemungkinan besar ia lakukan untuk mengambil simpati politik, misalnya di tahun 2014 salah satu tokoh yang dianugerahi gelar pahlawan adalah KH Wahab Chasbullah, yang dikenal luas sebagai tokoh penting Nahdlatul Ulama NU.Tahun ini, muncul nama HR Soeharto yang memiliki kedekatan dengan Keluarga Sukarno, tepat di saat pemerintahan Jokowi sedang gencar membersihkan nama Sukarno dari dugaan pengkhianatan dan keterlibatannya dalam Partai Komunis Indonesia PKI.Sudah sejak awal rezim Jokowi telah gencar memberikan perhatian pada daerah luar Jawa dalam pembangunan. Kemungkinan besar ini menjadi salah satu senjata utama kepemimpinan Jokowi selama dua pahlawan dari luar Jawa adalah satu strategi dalam menjaga kepercayaan masyarakat terhadap ini mencerminkan adanya nuansa politik yang kental dalam penetapan pahlawan nasional, sehingga tujuannya bukan lagi demi kepentingan sosial bisa jadi ada tokoh yang diusulkan, yang memiliki jasa yang cukup besar, namun tidak juga mendapatkan gelar bergengsi tersebut. Misalnya, siapa yang tidak mengenal Chairil Anwar, yang puisi-puisinya begitu bergelora dibacakan oleh anak usia SD hingga orang dewasa? Begitu pula dengan Sugondo Djodjopuspito, tokoh yang namanya selalu muncul di buku mata pelajaran sekolah sebagai pemimpin Kongres Pemuda. Keduanya hingga kini tidak kunjung mendapatkan anugerah gelar pahlawan banyaknya deretan nama individu atau tokoh yang berhak disebut pahlawan nasional, yang seharusnya pemerintah lakukan adalah melakukan pendataan, bukan serta merta menobatkan gelar bukan penobatanJika kita melihat sejarah Indonesia tahun 1945 hingga 1950 saja, ada cukup banyak warga negara yang berjuang untuk bangsa dan jasanya layak dikenang. Belum lagi tokoh yang berjuang melawan penjajah sebelum abad ke-20. Mereka juga punya hak untuk mendapatkan apresiasi dan penghormatan atas ingin objektif, maka negara juga perlu mencatat jasa-jasa dan memberikan penghormatan pada semua individu yang berjuang pada masa itu. Namun, jika semua individu kala itu diberikan gelar pahlawan nasional, maka esensi dari gelar itu bisa berkurang yang pemerintah lakukan setiap tahun mungkin lebih tepat jika bergeser menjadi upaya administratif’ – pemerintah bisa mendata orang-orang yang berjasa di masa lalu, ketimbang menganugerahkan gelar pahlawan. Mendata dan menganugerahkan adalah dua aktivitas yang berbeda. Pendataan menyasar banyak subjek, sedangkan penganugerahan harusnya hanya untuk sedikit subjek dan bersifat akan meminimalisasi adanya diskriminasi dan tebang pilih terhadap para individu yang juga berhak’ mendapat pengakuan atas jasa-jasanya bagi bangsa semestinya pahlawan nasional diangkat dengan dua tujuan kepentingan, yakni sebagai sumber pengetahuan sejarah sekaligus inspirasi generasi muda. Sayangnya, karena gelar pahlawan sekadar menjadi ajang penganugerahan tahunan yang juga membuat jumlahnya makin banyak, citra pahlawan masa kini menjadi tidak sekuat dulu. Selain hilangnya pengaruh ideologis, pahlawan nasional kini hanya tinggal itu terjadi karena kita telah salah kaprah memaknai pahlawan dengan cara yang politis dan perlu memikirkan ulang mengenai implementasi kebijakan penobatan gelar pahlawan nasional supaya lebih adil bagi yang berhak’ menerimanya, serta memutus konflik kepentingan dalam proses Febri Kurniawan adalah Dosen pada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang dan Peneliti Pusat Studi Memori dan Pedagogi PSMP ini pertama kali tayang di The Conversation Indonesia dengan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini. Biografi dan Profil Lengkap Prof. Mr. Dr. Soepomo, – Prof. Mr. Dr. Soepomo adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia. Soepomo lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah pada 22 Januari 1903 dan meninggal di Jakarta pada 12 September 1958 . Soepomo dikenal sebagai arsitek Undang-Undang Dasar 1945 bersama dengan Muhammad Yamin dan Ir. Soekarno. Profil Singkat Soepomo Nama Prof. Mr. Dr. Soepomo Lahir Sukoharjo, Jawa Tengah, 22 Januari 1903 Meninggal Jakarta, 12 September 1958 Agama Islam Pendidikan ELS Europeesche Lagere School di Boyolali 1917 MULO Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs di Solo 1920 Bataviasche Rechtsschool di Batavia lulus tahun 1923 Rijksuniversiteit Leiden/Leiden University 1924 Karier Pegawai yang diperbantukan pada Pengadilan Negeri Yogyakarta Anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI Ketua Panitia Kecil Perancang UUD Menteri Kehakiman/ Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ke-1 19 Agustus 1945 – 14 November 1945; 20 Desember 1949 – 6 September 1950 Rektor Universitas Indonesia ke-2 1951-1954 Kehidupan Pribadi dan Pendidikan Soepomo Prof. Mr. Dr. Soepomo lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah pada 22 Januari 1903. Soepomo terlahir dari kalangan keluarga ningrat aristocrat jawa. Kakek dari pihak ibunya adalah Raden Tumenggung Wirjodirodjo, bupati Nayak dari Sragen. Sedangkan Kakek dari pihak ayahnya adalah raden Tumenggung Reksowardono, bupati Anom Sukaharjo pada masa kejayaannya dulu. Sebagai putra keluarga priyayi, Soepomo berkesempatan meneruskan pendidikannya di ELS Europeesche Lagere School yaitru sekolah setara sekolah dasar di Boyolali 1917, kemudian ia melanjutkan pendidikannya di MULO Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs di Solo 1920 dan ia menyelesaikan pendidikan kejuruan hukum di Bataviasche Rechtsschool di Batavia pada tahun 1923. Kemudian, Soepomo ditunjuk sebagai pegawai pemerintah kolonial Hindia Belanda yang diperbantukan pada Ketua Pengadilan Negeri Sragen. Kisaran tahun 1924 dan 1927, Soepomo mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya ke ke Rijksuniversiteit Leiden di Belanda di bawah bimbingan Cornelis van Vollenhoven, yaitu profesor hukum yang dikenal sebagai arsitek ilmu hukum adat Indonesia dan ahli hukum internasional serta salah satu konseptor Liga Bangsa-Bangsa. Thesis doktornya yang berjudul Reorganisatie van het Agrarisch Stelsel in het Gewest Soerakarta Reorganisasi sistem agraria di wilayah Surakarta tidak hanya mengupas sistem agraria tradisional di Surakarta, namun juga secara tajam menganalisis hukum-hukum kolonial yang berkaitan dengan pertanahan di wilayah Surakarta. Thesis tersebut ditulis dalam bahasa Belanda, kritik Soepomo atas wacana kolonial tentang proses transisi agraria ini dibungkus dalam bahasa yang halus dan tidak langsung, menggunakan argumen-argumen kolonial sendiri, dan hanya bisa terbaca saat kita menyadari bahwa subyektivitas Soepomo sangat kental diwarnai etika Jawa. Soepomo Meninggal Dunia dan Diangkat Sebagai Pahlawan Nasional Indonesia Prof. Mr. Dr Soepomo meninggal di Jakarta, 12 September 1958 pada umur 55 tahun. Soepomo meninggal dalam usia muda akibat serangan jantung dan Ia dimakamkan di Solo. Berdasarkan Keppres No. 123 Tahun 1965, pada 14 Mei 1965 Soepomo diangkat menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Demikian artikel tentang “Biografi dan Profil Lengkap Prof. Mr. Dr. Soepomo – Pahlawan Nasional Indonesia Arsitek UUD 1945“, semoga bermanfaat - Nama Dr. Soepomo mungkin lebih dikenal sebagai jalan di bilangan Tebet, Jakarta Selatan. Namanya memang diabadikan di jalan Jakarta dan sejumlah kota lain di Indonesia atas jasanya yang besar. Dr Soepomo adalah salah satu perumus Undang-undang Dasar 1945. D ikutip dari Biografi yang disusun Direktorat Jenderal Kebudayaan, Soepomo lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah pada 22 Januari berasal dari kota kecil, Soepomo lahir dari keluarga yang terpandang di sana. Ia adalah putra pertama Raden Tumenggung Wignyodipuro, pejabat Bupati Anom Inspektur Hasil Negeri Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Baca juga Para Tokoh di Balik Lahirnya Pancasila Kakeknya, KRT Reksowadono, adalah Bupati Sukoharjo. Kendati terlahir ningrat, Soepomo tak memiliki jiwa feodal seperti keluarga kepala daerah umumnya. Ia digambarkan sebagai anak yang sederhana dan rendah hati. Berprestasi di sekolah Sebagai anak bangsawan, Soepomo mendapat kehormatan untuk bersekolah di sekolah dasar untuk anak-anak Belanda dan bangsawan yakni Europeesche Lagere School di Solo. Soepomo menamatkan sekolah pada 1917, di usia yang cukup muda yakni 14 tahun. Ia kemudian melanjutkan sekolah ke tingkat berikutnya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs MULO yang ada di Solo juga. Baca juga Ingat MULO dan HBS? Ini Beberapa Sekolah Umum pada Masa Hindia Belanda Soepomo remaja menamatkan sekolah pada 1920 dengan prestasi yang gemilang. Di sekolah ini pula, Soepomo bertemu dengan Raden Ajeng Kushartati, gadis keraton yang kelak menjadi istrinya. Selepas lulus dari MULO, Soepomo kemudian melanjutkan sekolah hukum ke Rechtscool di Jakarta pada 1920. Di Jakarta, Soepomo mulai bergaul dengan pemuda-pemuda lain yang tergabung dalam pergerakan nasional. Soepomo lagi-lagi menuai prestasi dengan menamatkan Rechtscool pada 1923 dengan hasil yang memuaskan. Pada 16 Mei 1923, ia diangkat sebagai pegawai negeri dengan penempatan Pengadilan Negeri di Sragen, kota tempat kakeknya, RT Wirjodiprodjo menjabat sebagai Bupati Nayaka Kabupaten Sragen. Baca juga Asal-usul Indonesia, dari Catatan Bung Hatta sampai Peran STOVIA Pekerjaan yang disenanginya itu harus ditinggalkannya pada 12 Agustus 1924. Saat itu, Soepomo mendapat programstudieopdracht atau pertukaran pelajar. Belajar pergerakan di Belanda Di usia 21 tahun, Soepomo mengejar cita-citanya menjadi ahli hukum dengan menimba ilmu di Fakultas Hukum di Universiteit Leiden. Ia memperdalam diri dalam peminatan hukum adat. Di sana, Soepomo juga bergabung dengan organisasi Indonesische Vereniging atau Perhimpunan Indonesia. Perkumpulan yang berubah menjadi organisasi politik itu mengajarkan nilai-nilai pergerakan untuk kemerdekaan kepada Soepomo. Prof. Mr. Dr. R. Supomo 1977 Soepomo bersama teman-temannya di Belanda. Selain aktif di pergerakan, Soepomo juga aktif di kesenian. Jiwa seninya terlihat dari tariannya yang berbakat. Lewat berbagai pentas, Soepomo ingin menunjukkan Indonesia adalah bangsa dengan peradaban yang tinggi. Keahlian menari itu diwarisi dari seorang pangeran keraton bernama Sumodiningrat. Soepomo bahkan sempat menari dalam pagelaran di Paris pada 1926. Baca juga Keraton Kartasura, Istana yang Menjadi Pemakaman Setahun kemudian, pada 14 Juni 1927, Soepomo meraih gelar Meester in de rechtern Mr atau magister hukum dengan predikat summa cum laude. Disertasinya yang berjudul De Reorganisatie van het Agrarisch stelsel in het Gewest Soerakarta juga membuatnya langsung meraih gelar doktor. Semua diraih dalam usia 24 tahun. Kendati sibuk sekolah, Soepomo muda tetap tak lupa pada pujaan hatinya semasa sekolah di Solo. Takdir mengantarkannya bertemu kembali dengan Raden Ajeng Kushartati. Saat pesta perkawinan emas Ratu Wilhelmina di Belanda, Supomo bertemu dengan kedua orangtua Raden Ajeng Kushartati. Soepomo meminta restu untuk mengawininya. Perkawinan pun dilaksanakan di Indonesia setelah Soepomo kembali. Baca juga Villa Yuliana, Persembahan untuk Putri Ratu Wilhelmina di Kabupaten Soppeng Jadi hakim dan profesor Sekembalinya ke Tanah Air, Soepomo menjalani beberapa profesi. Di antaranya, Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta, Direktur Justisi di Jakarta, hingga Guru Besar hukum adat pada Rechts Hoge School di Jakarta. Pekerjaan Soepomo mengharuskannya meneliti ke lapangan. Ia turun ke rumah penduduk dan dan melihat bagaimana kebodohan membelenggu rakyat. Soepomo menilai keadaan itu hanya bisa diperbaiki lewat pendidikan. Berangkat dari pemikiran itu, Soepomo kerap memberi penyuluhan dan bantuan kepada masyarakat. Dikutip dari Ensiklopedia Tokoh Nasional, Prof. Mr. Soepomo 2017, cita-cita luhur Soepomo membuatnya bergabung dengan organisasi Budi Oetomo. Seperti organisasi dan partai politik lainnya, Budi Oetomo juga mencita-citakan kemerdekaan bangsa. Caranya, lewat pendidikan bagi seluruh anak bangsa. Baca juga Boedi Oetomo, Sang Penanda Kebangkitan Nasionalisme Kiprah Soepomo cukup menonjol di organisasi itu. Pada 1930, ia pun dipercaya menjabat wakil ketua. Di sisi lain, profesinya sebagai hakim membuatnya dilematis. Saat itu, Pemerintah Kolonial Belanda memberlakukan serangkaian aturan yang melarang orang berkumpul dan berserikat dalam kegiatan politik. Sejumlah tokoh nasional pernah dijebloskan ke penjara karena aturan-aturan ini. Soekarno pernah masuk penjara Sukamiskin, Bandung hingga Ende dan Bengkulu. Begitu pula Hatta, Sutan Syahrir, Amir Syarifuddin, Sayuti Melik, dan banyak nama lainnya. Soepomo yang dalam hati mendukung pergerakan yang dilakukan para tokoh, terikat pada pekerjaannya sebagai pegawai pemerintahan. Baca juga Ende, Tempat Soekarno Merenungkan Pancasila Sebagai hakim, ia harus menjatuhkan hukuman yang dibuat Belanda kepada saudara sebangsanya sendiri. Soepomo berusaha membantu perjuangan dengan cara memberi saran kepada para pejuang untuk bertemu secara sembunyi-sembunyi. Ia juga kerap mendebat aparat polisi yang menangkap pejuang. BPUPKI lalu PPKI Memasuki masa pendudukan Jepang pada 1942, Soepomo melakoni peran baru sebagai Mahkamah Agung Saikoo Hoin dan anggota Panitia Hukum dan Tata Negara. Setahun kemudian, ia diangkat menjadi Kepala Departemen Kehakiman Shijobuco. Soepomo menerima pekerjaan itu karena di era pendudukan Jepang, para pejuang memilih tak melawan dan kooperatif dengan militer Jepang yang keras. Jepang yang awalnya diharapkan sebagai saudara dari Timur yang akan membebaskan Indonesia dari penjajahan, malah membuat kehidupan rakyat makin terpuruk. Baca juga Benarkah Indonesia Dijajah Belanda Selama 350 Tahun? Kebijakan Jepang yang asal-asalan membuat rakyat hidup sengsara dan kelaparan. Rakyat terus menagih janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan Indonesia. Perang Dunia Kedua yang menghimpit Jepang pada 1944, mengkhawatirkan banyak pihak termasuk Soepomo. Para tokoh pergerakan khawatir Jepang batal memberikan kemerdekaan yang dijanjikan. Jepang tak bisa berkelit. Untuk melunasi janjinya, mereka membentuk satu badan yang bertugas mempersiapkan dan merancang berdirinya negara yang merdeka dan berdaulat. Pada 26 April 1945, badan itu, Dokoritsu Zyumbi Coosakai atau Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, dibentuk. Soepomo, bersama Bung Karno, Bung Hatta, AA Maramis, Abdul Wahid Hasyim, dan Moh Yamin direkrut ke juga Hari Ini dalam Sejarah PPKI Mulai Bekerja Siapkan Kemerdekaan RI Masing-masing mengemukakan pendapatnya soal pemikiran untuk menjadi dasar negara. Soepomo, pada 31 Mei 1945, mengajukan lima prinsip. Kelima prinsip sebagai dasar negara itu adalah persatuan, mufakat dan demokrasi, keadilan sosial, serta kekeluargaan, dan musyawarah. Soepomo juga menyampaikan konsep negara kesatuan untuk diberlakukan di Indonesia. Hasil pemikiran para tokoh itu disahkan menjadi Piagam Djakarta pada 22 Juni 1945. Untuk agenda selanjutnya, perumusan undang-undang dasar, BPUPKI digantikan dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI. Menjadi menteri Kekalahan Jepang pada Agustus 1945 mendorong Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus. Keesokan harinya, PPKI menggelar sidang. Baca juga Saat Sutan Syahrir Mendengar Berita soal Kekalahan Jepang dari Sekutu pada 10 Agustus 1945... Sidang itu menetapkan Undang-undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara serta menetapkan Soekarno dan Hatta sebagai presiden dan wakil presiden. PPKI juga membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat KNIP dan Badan Keamanan Rakyat BKR. PPKI dibubarkan dan anggotanya masuk ke KNIP. Kemudian pada 19 Agustus 1945, Soekarno membentuk kabinet yang terdiri dari 16 menteri. Soepomo diangkat sebagai Menteri Kehakiman. Penunjukan itu dilakukan Soekarno karena yakin terhadap kecakapan Soepomo di bidang hukum. Soepomo menjadi Menteri Kehakiman pertama RI. Baca juga Kronik KUHP Seabad di Bawah Bayang Hukum Kolonial Salah satu tugas penting Soepomo yakni merumuskan aturan hukum. Ia bercita-cita Indonesia bisa punya kodifikasi hukum sendiri alih-alih mengadopsi hukum Belanda. Kodifikasi hukum ini, seperti keinginan Soepomo, berasal dari hukum adat Indonesia. Sayangnya, hingga saat ini, hukum yang dibukukan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP, masih sebagian besar menganut kodifikasi era kolonial Hindia Belanda. Indonesia berganti-ganti bentuk Di awal kemerdekaannya, bentuk negara serta pemerintahan Indonesia kerap berubah-ubah. Pada 14 November 1945, Indonesia berubah bentuk dari sistem presidensil menjadi pemisahan kepala negara dengan kepala pemerintahan. Baca juga 6 Kejadian Unik Saat Upacara Hari Kemerdekaan 17 Agustus Presiden Soekarno menjadi kepala negara, sementara kepala pemerintahan di tangan Perdana Menteri Sutan Syahrir. Syahrir merombak kabinet Soekarno dan menggantinya dengan orang-orang politik, kebanyakan dari Partai Sosialis Indonesia PSI. Soepomo yang bukan orang partai pun lengser. Namun hal itu tak dirisaukannya. Ia paham akan dinamika politik. Soepomo tetap membantu bangsa. Ketika Ibu Kota Indonesia dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta, Soepomo ikut. Di sana, ia diminta membantu pendirian lembaga pendudukan tinggi setingkat universitas. Maka pada 3 Maret 1946, berdirilah Universitas Gadjah Mada UGM. Soepomo ditunjuk sebagai guru besar di Fakultas Hukum. Baca juga Perjalanan Panjang UGM dan Museumnya yang Menyimpan Kisah Obama Selain sibuk mengajar di UGM dan Akademi Kepolisian di Magelang, Soepomo juga aktif di kegiatan lain. Ia diminta menjadi penasihat Menteri Kehakiman. Soepomo juga ditunjuk sebagai salah satu pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia KONI Pusat. Kemudian pada Desember 1946 sampai Mei 1947, Soepomo diminta menjadi anggota panitia reorganisasi Tentara Republik Indonesia. Ia diminta menyumbangkan pemikiran terkait rencana pemerintah menyusun kembali struktur organisasi angkatan perangnya. Kembali jadi menteri Di tengah pergolakan politik dalam negeri, Indonesia masih harus menghadapi Belanda yang ingin kembali berkuasa. Baca juga Jembatan “Saksi” Agresi Militer Belanda II Itu Akhirnya Runtuh… Soepomo beberapa kali menjadi delegasi antara Indonesia dengan Belanda. Salah satunya, di perjanjian Renville yang dianggap merugikan Indonesia. Perjanjian itu mempersempit wilayah Indonesia menjadi hanya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kemudian saat Belanda menyerang Ibu Kota Yogyakarta atau yang dikenal sebagai Agresi Militer II Belanda pada 1949, Soepomo mengambil peran sebagai delegasi dalam perundingan untuk membela Indonesia. Puncak perundingan itu, dihasilkan kesepakatan lewat Konferensi Meja Bundar KMB di Den Haag, Belanda pada 23 Agustus 1949. Soepomo yang terlibat dalam KMB, dipercaya sebagai Ketua Panitia Konstitusi dan Politik. Tugasnya mengajukan rancangan konstitusi yang bisa diterima Belanda. Baca juga Hari Ini dalam Sejarah Dimulainya Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda Meski lewat KMB Belanda akhirnya melepas Indonesia, namun Indonesia dipaksa merubah bentuknya menjadi Republik Indonesia Serikat. Bagi Soepomo, apa yang dihasilkan lewat KMB sudah maksimal kendati banyak hal yang harus direlakan. Salah satunya, mengganti bentuk negara kesatuan. Dalam pemerintahan RIS, Soepomo kembali duduk sebagai menteri kehakiman pada 20 Desember 1949. Tak lama setelah diangkat, yakni pada 19 Mei 1950, Soepomo menggelar pertemuan. Pertemuan itu untuk mengakomodasi keinginan rakyat mengembalikan bentuk negara ke negara kesatuan. Aktivitas hingga tutup usia Setelah lengser sebagai menteri pada September 1950, Soepomo diberi mandat sebagai anggota delegasi RI untuk menghadiri sidang umum PBB di Lake Succes pada 13 November 1950. Baca juga Polemik 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila pada Era Orde Baru... Lewat sidang itu, Indonesia dinyatakan sebagai anggota PBB dengan nomor urut 60. Setelah itu, Soepomo diangkat sebagai Duta Besar RI untuk Belanda. Tugasnya, membina hubungan antara Indonesia dengan Belanda pasca-KMB. Setelah Belanda, Soepomo menjadi Duta Besar untuk Inggris dari 1954 hingga 1956. Di dunia akademik, Soepomo juga diangkat sebagai profesor lalu Presiden Universitas Indonesia. Di tingkat internasional, Soepomo menjabat Wakil Presiden International Institute of Differing Civilization yang berpusat di Brussel, Belgia. Ia juga menjadi wakil ketua di International Comission for Scientific and Cultural History of Mankind dan Indonesia Institute for World Affairs. Baca juga 17 Agustus Di 9 Tempat Ini, Soekarno Pernah Catatkan Sejarah... Jabatan terakhir yang diembannya adalah sebagai anggota Panitia Negara untuk Urusan Konstitusi pada 1958. Soepomo tutup usia pada 12 Desember 1958 usai bermain tenis di rumahnya di Jalan Diponegoro, Jakarta. Ia meninggal karena serangan jantung. Soepomo dimakamkan keesokan harinya di Pemakaman Yosoroto di Jalan Slamet Riyadi, Purwosari, Surakarta. Sebagai penghargaan, Soepomo diberikan gelar Pahlawan Nasional pada 1965. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

atas jasa jasanya pemerintah indonesia menetapkan mr soepomo sebagai pahlawan